Skip to main content

Belajar dari Kesalahan Orang Lain

Oleh: Jennie S. Bev.

Salah satu premis buku-buku yang saya tulis adalah bagaimana mempermudah hidup seseorang hanya dengan membaca. Buku-buku how-to, bisnis, dan motivasi yang telah saya terbitkan, semua mempunyai premis yang tidak mengenal batas-batas budaya dan geografis.

Lantas, mengapa membaca? Karena, dengan membaca tulisan-tulisan yang bermuara dari pengalaman pribadi penulisnya, kita bisa mempelajari kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalan mereka sehingga kita tidak perlu mengulanginya. Jelasnya, dengan membaca kita diberi kesempatan untuk test drive dengan simulator secara cuma-cuma, tanpa perlu mengalami kepahitan hidup seperti yang mereka alami. Cukup dengan menerima informasi dengan hati terbuka dan pikiran yang siap menyerapnya, kita mestinya sudah bisa belajar dari kesalahan orang lain.

Lantas, apakah hanya dengan membaca? Jelas tidak. Setiap saat indera kita bekerja, kita sedang belajar dari Universitas Kehidupan. Saya dan Anda, kita semua, dalam setiap detik mengalami pembelajaran baik secara sadar maupun tidak sadar. Apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan, adalah materi pembelajaran. Bagaimana kita memulung dan menggunakan hasil pulungan itulah yang menjadi bekal hidup di masa kini dan masa yang akan datang. Istilah memulung dari kehidupan ini saya pinjam dari Bung Andrias Harefa (terima kasih, istilah ini kena sekali).

Saya kenal banyak orang yang mengulangi kesalahan-kesalahan diri sendiri di masa lampau. Apalagi kesalahan-kesalahan orang lain. Padahal, jelas-jelas hal-hal tersebut terjadi di depan matanya sendiri. Misalnya, menurut data statistik, seseorang yang mempunyai masa kecil kelabu-seperti seringnya dipukul oleh orangtua-kemungkinan besar ketika mempunyai anak sendiri pun akan menjadi orangtua yang gemar memukul. Seseorang yang mempunyai orangtua yang kawin cerai, kemungkinan besar akan menjadi seseorang yang gemar kawin cerai pula.

Apalagi ada kata mutiara yang berkata, "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya." Ini jelas merupakan suatu `indoktrinasi' yang terjadi secara tidak disengaja, namun diperkuat oleh kultur yang mengungkung. Saya sendiri seringkali merasa terkungkung oleh nosi yang salah kaprah ini. Bahkan sampai hari ini, kadang-kadang masih timbul suatu keragu-raguan dalam bertindak hanya karena persepsi saya yang salah atas kehidupan dan di mana saya berdiri.

Sering kali, saya merasa `tidak berdaya' karena masa lalu dan kekhawatiran akan masa yang akan datang, yang sesungguhnya hanyalah berasal dari indoktrinasi masa lalu yang salah. (Istilah indoktrinasi di sini saya gunakan dalam konteks yang sangat relaks, yaitu bagaimana suatu proses penempatan konsep diri yang biasanya `salah kaprah' tertanam sedalam-dalamnya sehingga sulit digeser.) Beberapa tahun lalu, saya sangatlah memandang diri sendiri sebagai seseorang dengan latar belakang keluarga yang tidak begitu sempurna serta tidak punya banyak uang, sehingga saya merasa menjadi `diri yang cacat'.

Untungnya, dengan tempaan dan mengindoktrinasi diri saya kembali, saya belajar ulang dari kehidupan dan menghapus segala macam informasi yang membuat pikiran saya menjadi `cacat'. Ya, bukan saya yang cacat, namun pikiran saya.

Bagaimana saya belajar ulang atas buku kehidupan yang sudah separuh jalan ini (dengan asumi usia normal manusia 70 tahun)? Mudah saja. Refleksi seperlunya dan lakukan secara pragmatis. Jangan libatkan perasaan. Kalau dilibatkan pun, usahakan seminimal mungkin.

Pertama: Setiap solusi pasti ada pemecahannya yang berasal dari pemikiran jernih saat itu juga. Jelas, pemecahan ini bukan berasal dari pemikiran njelimet tidak karu-karuan. Apalagi kalau dibumbui segala macam nasihat orang lain-yang mungkin pengalaman hidupnya getir dan pahit-sehingga saran-saran mereka malah mengungkung hasil akhir dan bukan memberikan solusi.

Karena itu diperlukan latihan memenggal-menggal permasalahan dan mengkotak kotakkannya dalam ukuran yang kecil, sehingga bisa dicerna dengan mudah. Pilah pilahkan masalah besar menjadi beberapa masalah kecil, lantas dengan visualisasi
di dalam benak Anda, bayangkan Anda seorang raksasa yang sedang menghantam masalah masalah kecil tersebut dalam satu kali sapuan bersih.

Pada saat itu juga masalah hendaknya dipecahkan. Jika tidak memungkinkan, tulis tindakan lanjutan yang sebenarnya sudah merupakan pemecahan masalah, namun hanya ditunda sampai waktu dan kesempatan yang tepat. Sesudah itu, jangan dipikir pikirkan lagi sampai waktunya untuk diangkat kembali.

Kedua: Membandingkan masalah kita dengan masalah orang lain yang serupa. Dari pergaulan sehari-hari dan memperhatikan bagaimana anggota keluarga kita menjalankan kehidupan, kita bias dengan mudah membandingkan suatu situasi yang kita alami dengan bagaimana cara mereka memecahkan masalah.

Tujuannya bukanlah untuk mengikuti cara mereka dalam memecahkan masalah. Namun, untuk melihat secara obyektif bagaimana suatu pemecahan masalah membawa dampak jangka panjang. Misalnya, seorang ibu yang suka memukul anaknya. Dalam benaknya sudah tertanam anggapan bahwa itulah cara terbaik dalam mendidik anak yang sedang bermasalah atau sedang nakal-nakalnya. Lantas, ketika si anak itu sudah mempunyai anak sendiri, cara itu pula yang ia gunakan untuk mendidik anaknya. Ini cara yang salah karena ia tidak melihat dampak jangka panjang dari memukul anak ini secara obyektif. Malah, ia mengulangi luka-luka lama.

Intinya, kita mesti dengan jeli melihat bagaimana orang lain bertindak, mengamati dampak dari perbuatan tersebut, dan mengambil sarinya untuk kepentingan kita sendiri, terutama dalam memecahkan masalah. Jika cara pemecahan masalah tersebut kelihatan overacting, seperti si ibu yang gemar memukul tadi, renungkan cara lain yang lebih kena tanpa menggunakan kekerasan.

Ciri-ciri pemecahan masalah yang salah pun perlu diidentifikasi. Apa saja ciri-cirinya? Antara lain adalah terlalu berlebihan, terlalu rumit, dan terlalu mementingkan pandangan sendiri tanpa melibatkan persepsi orang lain. Anda pasti bisa tambahkan lagi ciri-ciri lainnya apabila mampu melihat dengan obyektif dan saksama bagaimana orang-orang di sekeliling Anda memecahkan masalah.

Idealnya, suatu masalah dipecahkan dengan solusi yang berasal dari nurani, dari pemikiran yang obyektif serta jernih. Jangan memperpanjang dan memperumit masalah. Pilah-pilah masalah besar menjadi masalah-masalah liliput yang bisa diterjang dalam satu kali hempasan. Belajar dari kesalahan orang lain, jadikan itu menjadi bagian kita, namun pilih pemecahan yang terbaik dalam situasi kita sendiri.

Hidup itu simpel saja, kok! Ada banyak simulator `gratis' yang bisa memperkenalkan kita kepada begitu masalah yang belum kita alami. Test drive your life dengan menggunakan kesalahan orang lain sebagai bahan pembelajaran. Dan, itulah rahasia sukses saya dalam menghadapi setiap masalah.[]

Sumber: Belajar dari Kesalahan Orang Lain oleh Jennie S. Bev.

Comments

Popular posts from this blog

Suka Membaca

 Mengenaskan, literasi penduduk Indonesia cukup rendah. Hanya 1 orang dari 1000 orang yang suka baca. Pantas dan wajar jika dai pun kesulitan untuk mengajak ummat berpikir untuk bangkit dari keterpurukan. Membaca adalah ayat pertama yang dirunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Perintah ini seolah menjadi solusi awal dari masalah masyarakat yang jahiliah.  Begitupun rasanya jahiliah modern ini. Kemampuan dan kesukaan membaca sangatlah rendah sehingga mempersulit untuk mengajak dalam menyadari kondisi yang terpuruk dan segera bangkit. Mungkin, inilah solusi yang harus ditawarkan.  Membaca itu menjadi asyik jika merasa butuh. Membaca bukan hanya untuk membaca, namun ada target lebih mengapa harus suka membaca. Menulis misalnya merupakan skill yang tidak boleh tidak kudu suka membaca agar tulisannya berbobot dan kaya ide.  Menjadi pembicara juga akan menyenangkan untuk didengarkan jika apa yang dibicarakan banyak isi (daging semua), yang bisa diperoleh dengan membaca. M...

Lagi Rame Fufufafa

 Skandal akun Fufufafa menghangatkan politik di Indonesia. Bila benar memang fuffaf adalah akun milik Gibran, maka ini menjadi skandal yang memalukan bangsa karena banyak hatespeech dan rasis serta porno menghiasi statemen dan komentar fufufafa dalam akunnya.  Yang unik, fufufafa banyak menghina dan melecehkan Prabowo dan keluarganya. Banyak pernyataan fufufafa yang mengindikasikan isi kepala nya tak jauh dari porno dan kebencian. Menjijikkan! itulah kesan pertama membaca isi statemen fufufafa di kaskus. Entahlah apa yang terjadi bila Prabowo keluarga dan timnya tahu mengani skandal fufufafa ini, masihkah mereka nyaman bekerjasama dengan pelaku ujaran kebencian dan rasisme ini.  Menjadi babak baru bagi perpolitikan Indonesia. Pelajaran politik berharga bagi anak bangsa bahwa politik itu adalah urusan rakyat yang diberikan kepada penguasa untuk memberikan kemudahan dan pelayanan terbaik. Apa jadinya jika pelayan rakyat dengan paradigma dan pemikiran penuh ujaran kebencian ...

Aliran Sesat Satria Piningit Weteng Buwono

Pagi tadi, di salah satu stasiun TV di bahas tentang aliran sesat yang muncul ke permukaan yaitu aliran sesat Satria Piningit Weteng Buwono .Ternyata, markasnya di daerah Kebagusan Jakarta Selatan (dekat kantor kerjaku). Tidak dinyana, hari gini masih saja banyak yang percaya dengan ajaran-ajaran yang "nyleneh" alias ga masuk akal. Aliran ini dikabarkan memerintahkan SEKS BEBAS .Namun, salah satu eks pengikut aliran ini, Ricky Alamsyah membantah berita tersebut saat berbincang dengan mediaDia membantah bahwa aliran Satria Piningit ini mempraktekkan seks bebas sebagaimana diberitakan media massa. Yang ada, lanjutnya, pernah suatu waktu 13 orang pengikut diperintahkan untuk bugil bersama-sama. Kemudian, bagi pengikut yang sudah menikah disuruh untuk melakukan hubungan seks di situ disaksikan dengan pengikut lainnya. "Tapi, tidak ada tukar pasangan seperti yang diberitakan. Yang berhubungan badan, hanya pasangan suami istri saja," jelasnya.Namun, Ricky tidak menjela...