Mencuatnya kasus Ahok dengan tuduhan penistaan agama dan event pilkada DKI semakin ramainya perang opini di Media Sosial. Bahkan, opini yang dibangun mengarah kepada informasi bohong (hoax) yang berujung dengan fitnah.
Fitnah yang disebar pun bukan hanya karena unsur benci namun sudah menjadi bagian dari perang opini. Baru-baru ini, aksi ummat Islam menuntut Ahok agar segera ditahan, menjadikan ada arus gerak bersama dikalangan ummat Islam untuk membela agama dan ulamanya.
Ketika ada perusahaan roti yang memberikan pengumuman perihal ketidakterlibatannya dalam aksi ummat Islam dan ada kesan menuduh ummat Islam sebagai gerakan radikal, di media sosial muncul gerakan boikot yang membuat turun saham perusahaan. Begitu pula dengan dua TV nasional yang terkesan dikalangan ummat Islam selalu menyudutkan ummat ini, muncul juga gerakan boikot TV tersebut sehingga ratingnya pun turun.
Dua komika Indonesia, baru-baru ini ciutannya di twitter membuat resah ummat karena menyerang ulama yaitu Habib Rizieq dan Dr. Zakir Naik. Tak segan ummat Islam menyerukan boikot kepada dua komika tersebut bahkan di acara-cara yang mereka buat atau ikuti. Hasilnya, mereka berdua meminta maaf melalui media. Tak segan, perusahaan-perusahaan yang merka bintangi menghentikan kontrak/tidak meneruskan karena takut di boikot pemirsa yang mayoritas ummat Islam.
Peristiwa-peristiwa politik yang melibatkan perang di media sosial, sering nya membuat para politikus dan pendukungnya tidak terkontrol dalam menyebarkan informasi. Disinilah peran pemerintah harus tegas untuk menertibkan para pembuat berita. Hukum tidak boleh memihak dan harus adil.
Yang menarik, beredar di banyak media bahwa aparat penegak hukum sangat cepat bertindak jika pelakunya adalah musuh-musuh olitik Ahok namun lambat jika pelakunya fansboy kotak-kotak (istilah pendukung Ahok).
Dari peristiwa ini, saya mengambil hikmah bahwa birokrasi dan aparat keamanan (hukum) harus independence merdeka dari pengaruh penguasa. Rakyat harus kuat mengontrol kekuasaan secara berkelompok, seperti sapu lidi jika sendiri mudah dipatahkan, jika bersama-sama maka sangat kuat.
Fitnah yang disebar pun bukan hanya karena unsur benci namun sudah menjadi bagian dari perang opini. Baru-baru ini, aksi ummat Islam menuntut Ahok agar segera ditahan, menjadikan ada arus gerak bersama dikalangan ummat Islam untuk membela agama dan ulamanya.
Ketika ada perusahaan roti yang memberikan pengumuman perihal ketidakterlibatannya dalam aksi ummat Islam dan ada kesan menuduh ummat Islam sebagai gerakan radikal, di media sosial muncul gerakan boikot yang membuat turun saham perusahaan. Begitu pula dengan dua TV nasional yang terkesan dikalangan ummat Islam selalu menyudutkan ummat ini, muncul juga gerakan boikot TV tersebut sehingga ratingnya pun turun.
Dua komika Indonesia, baru-baru ini ciutannya di twitter membuat resah ummat karena menyerang ulama yaitu Habib Rizieq dan Dr. Zakir Naik. Tak segan ummat Islam menyerukan boikot kepada dua komika tersebut bahkan di acara-cara yang mereka buat atau ikuti. Hasilnya, mereka berdua meminta maaf melalui media. Tak segan, perusahaan-perusahaan yang merka bintangi menghentikan kontrak/tidak meneruskan karena takut di boikot pemirsa yang mayoritas ummat Islam.
Peristiwa-peristiwa politik yang melibatkan perang di media sosial, sering nya membuat para politikus dan pendukungnya tidak terkontrol dalam menyebarkan informasi. Disinilah peran pemerintah harus tegas untuk menertibkan para pembuat berita. Hukum tidak boleh memihak dan harus adil.
Yang menarik, beredar di banyak media bahwa aparat penegak hukum sangat cepat bertindak jika pelakunya adalah musuh-musuh olitik Ahok namun lambat jika pelakunya fansboy kotak-kotak (istilah pendukung Ahok).
Dari peristiwa ini, saya mengambil hikmah bahwa birokrasi dan aparat keamanan (hukum) harus independence merdeka dari pengaruh penguasa. Rakyat harus kuat mengontrol kekuasaan secara berkelompok, seperti sapu lidi jika sendiri mudah dipatahkan, jika bersama-sama maka sangat kuat.
Comments
Post a Comment
Allah always see what we do!