Jakarta - Praktik pasar bebas dan liberalisasi mulai berimbas kepada persusuan di Indonesia. Saat ini konsumsi susu di Indonesia mencapai 9,7 liter per kapita per tahun. Pemenuhan kebutuhan susu tersebut 26,5% dari produksi domestik atau sekitar 636,5 ribu ton. Sedangkan 73,5% sisanya dipenuhi dari impor atau sekitar 1.420,4 ribu ton.
Seperti kita ketahui bahwa struktur pasar susu dalam negeri dikuasai oleh lima industri pengolahan susu (IPS). Pasar susu yang berbentuk oligopsoni ini dengan mudah mempermainkan harga pembelian.
Ketika harga susu dunia turun PT Nestle Indonesia menurunkan harga pembelian susu segar dari peternak sebesar Rp 150 per liter. Keputusan Nestle ini serta merta diikuti oleh Frisian Flag Indonesia, Indomilk, Ultra Jaya, dan PT Sari Husada.
Berhadapan dengan IPS peternak tidak mempunyai daya tawar yang kuat. IPS beralasan dengan adanya penurunan harga susu segar dunia yang turun drastis dari Rp 6,692 per liter pada Oktober 2008 menjadi Rp 2.871 per liter pada Maret 2009 bisa menentukan harga secara sepihak.
Harga susu dari peternak jika dirinci dari biaya produksinya. Di Jawa Timur harga susu segar dengan Rp 3,717 per liter adalah harga Break event point (BEP). Jika peternak menjualnya dengan harga Rp 3,500 per liter pendapatan peternak sapi perah hanya sekitar Rp 600,000 per bulan. Sangat jauh dari standart upah minimum regional (UMR). Lalu, apa yang terjadi jika IPS hanya mau membeli dari petani dengan harga dibawah Rp 3,000 per liter?
Kalangan IPS tentu saja akan memilih membeli dari luar negeri karena harganya jauh berbeda dengan harga susu di dalam negeri. Anehnya lagi pemerintah melalui Departemen Keuangan mengeluarkan sebuah kebijakan yang tidak berpihak kepada peternak dalam negeri. Melalui Permenkeu No 19/PMK.001/2009 sejak 1 April 2009 bea masuk susu impor menjadi nol persen.
Sungguh tragis. Ketika produsen Indonesia membutuhkan perlindungan agar produknya bisa bersaing dengan pihak luar Departemen Keuangan malah memberikan keleluasaan barang impor masuk dengan mudahnya.
Ketidakkompakan kebijakan pemerintah ini membuat Departemen Pertanian ketiban pulung untuk menekan susu impor dengan cara meningkatkan produksi susu lokal dan menuntut pemberlakuan wajib serap bagi IPS. Permasalahannya bukan hanya di faktor kuantitas dan kualitas produk. Namun, kepada persaingan harga.
Jika IPS bisa mendapatkan susu impor dengan harga Rp 2,800 per liter sedangkan harga susu segar lokal mencapai Rp 3,500 per liter yang akan terjadi pihak IPS akan menekan produsen susu segar lokal untuk menurunkan harganya hingga di bawah Rp 3,000 per liter. Sekali lagi peternak sapi perahlah yang dirugikan.
Akibat kebijakan globalisasi melalui pasar bebasnya Indonesia yang mempunyai jumlah penduduk yang cukup banyak adalah potensi pasar yang sangat tinggi. Dengan kebutuhan 9,7 liter per kapita dan Indonesia sendiri hanya mampu memenuhi 26,5 persennya saja merupakan bukti pasar yang strategis bagi dunia usaha.
Kebijakan mencabut bea masuk nol persen adalah kebijakan yang irrasional bagi peternak sapi perah. Kebijakan ini sejalan dengan salah satu butir LoI IMF yaitu penghapusan kebijakan perlindungan penyerapan susu segar oleh IPS melalui mekanisme Bukti Serap dan perlindungan harga.
Pemerintah sudah tahu bahwa biaya produksi susu dalam negeri masih di atas Rp 3,000 per liter. Sedangkan di luar negeri harga jualnya saja sudah bisa Rp 2,800 per liter. Namun, mengapa malah mencabut bea masuk. Hal ini seperti menyuruh petinju kelas ringan bertarung dengan petinju kelas berat.
Untuk menolong peternak dalam negeri seharusnya antara Departemen Pertanian dan Departemen Keuangan mempunyai kebijakan yang bervisi sama yaitu pro rakyat. Apa pun program Deptan untuk meningkatkan produksi susu perah di Indonesia jika tidak mampu menurunkan biaya produksi peternak sapi perah hanya akan menuai kerugian di tingkat peternak.
Langkah yang harus dilakukan semestinya ketika Departemen Pertanian belum mampu meningkatkan produksi susu sapi perah Departemen Keuangan membuat kebijakan perlindungan harga dalam negeri dengan memberlakukan bea masuk terhadap produk susu impor. Minimal harga susu impor sama dengan harga susu segar produksi dalam negeri.
Pemerintah yang non liberal tentunya akan menciptakan persaingan usaha yang kondusif dan sehat bagi warga negaranya dengan cara, salah satunya memberikan subsidi agar biaya produksi murah. Ketika produsen mampu menghasilkan produk dengan biaya lebih murah dibanding dengan negara lain, bisa dipastikan negara tersebut mempunyai daya saing yang sangat tinggi.
Apalagi jika kita lihat potensi Indonesia mulai sumber daya manusia (SDM) hingga sumber daya alam (SDA)-nya, jika hanya untuk memproduksi susu segar sapi perah sangatlah bisa. Asalkan pemerintah bisa menjamin bahwa usaha di bidang peternakan sangatlah menguntungkan, modal mudah didapat, dan keuntungan pasti didapat.
Penduduk negeri ini tidak akan ragu untuk menjadi peternak sapi perah. Tapi, jika kebijakan pemerintah hanyalah pro pasar tentu tidak ada penduduk negeri ini yang mau berbisnis jika tahu pasti akan kalah dan rugi. Lebih baik menjadi "buruh" di negeri sendiri daripada jadi "tuan" tapi rugi terus.
Sekarang yang kita tuntut dan harapkan adalah Departemen Pertanian mampu meningkatkan produksi susu sapi perah. Sedangkan Departemen Keuangan dan Departemen Perdagangan mampu melindungi peternak dalam negeri dari ketidakadilan persaingan usaha.
Dari kebijakan yang dibuat pemerintah tentunya tidak salah jika ada yang menyebutkan bahwa selama ini pemerintah Indonesia memang dikuasai oleh tim ekonomi neoliberal yang terbukti menyengsarakan rakyat.
Sumber : Suarapembaca.detik.com
Comments
Post a Comment
Allah always see what we do!