Jakarta - Politisasi pertanian masih berlanjut. 60% penduduk di Indonesia adalah petani. Tahun 2008 kita semua sempat berbangga bahwa Indonesia mampu swasembada beras. Namun, sayangnya itu tidak bertahan lama.
Ekspor beras yang digembar-gemborkan belum terwujud. Departemen Perdagangan dan Perum Bulog sudah meneken perjanjian impor beras 1 juta ton dengan Vietnam hingga tahun 2012. Menurut Direktur Utama Perum Bulog, Mustofa Abu Bakar, impor ini dilakukan karena kepastian produksi di Indonesia tidak pasti akibat banjir dan kekeringan.
Di dalam negeri kondisi petani padi tambah miris. Ketika harga beras berangsur naik harga gabah di petani Pandeglang Banten malah turun. Harga Gabah Kering Panen hanya Rp 2,000/ kg. Jauh di bawah ketentuan Inpres Perberasan No 8/2009 yang menetapkan Harga Gabah Panen di tingkat petani Rp 2,400/ kg.
Mengapa harga beras dan gabah selalu tidak sinkron dan begitu mudah dipermainkan. Dalam permasalahan pangan khususnya beras ini yang selalu menjadi korban adalah petani dan konsumen.
Hal ini menunjukkan bahwa penentuan harga minimum pemerintah atau harga pembelian pemerintah menjadi tidak efektif ketika pola distribusi penyediaan dan perdagangan beras tidak terjaga secara adil. Yang dibutuhkan masyarakat adalah ketersediaan barang atau beras dalam jumlah cukup di pasar dan kemampuan daya beli yang tinggi.
Apalah artinya beras melimpah namun masyarakat tidak mampu membelinya. Atau sebaliknya masyarakat mampu membeli namun persediaan barang tidak mencukupi.
Ketersediaan barang dilakukan dengan cara menjamin bahwa beras tersebut benar-benar ada di daerah orang-orang yang membutuhkan dan menindak para pelaku penimbun beras atau pihak-pihak yang sengaja membuat barang menjadi langka. Ketika jumlah beras memang belum mencukupi maka pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengadakan hal tersebut meskipun dilakukan dengan impor.
Kemampuan daya beli masyarkat bisa tinggi jika tingkat perekonomian pendapatan per orang secara riil (bukan rata-rata pendapatan) juga tinggi. Keberhasilan pemerintah dalam pelayanan terhadap petani terutama kemudahan dan kemurahan dari sarana dan prasarana produksi ditambah dengan infrastruktur yang memadai akan menekan tingginya biaya produksi.
Jika petani bisa dengan biaya seminimal mungkin dan mampu menghasilkan produksi yang tinggi maka bisa dipastikan harga produk pangan pun akan semakin murah. Masyarakat konsumen pun bisa menikmati dengan harga yang bisa dijangkau oleh semua kalangan.
Sayangnya, sampai saat ini pun pemerintah belum bisa mewujudkannya. Terbukti pasokan benih petani selama ini masih dikuasai oleh perusahaan transnasional seperti Dupont, Syngenta, Bayer, dan Monsanto. Kesuksesan perusahaan transnasional menguasai input eksternal dari benih, pupuk, dan sarana produksi lain tak lepas dari kesepakatan Indonesia di World Trade Organization (WTO).
Kondisi ini berbeda dengan Amerika Serikat (AS) dan Cina yang masih mensubsidi dan berhati-hati dalam membuka pasar komoditas pertanian. Sebaliknya, Indonesia malah membuka lebar-lebar liberalisasi perdagangan komoditi pertanian. Termasuk perbenihan.
Solusi tuntas dari permasalahan ini adalah mengembalikan fungsi pemerintah sebagai pelayan masyarakat bukan hanya regulator. Sebagaimana Islam telah mengajarkan bahwa pemimpin layaknya penggembala yang akan dimintai pertanggunjawabannya atas yang digembalakan.
Menerapkan sistem ekonomi Islam adalah salah satu solusi yang akan memberikan keadilan di tengah masyarakat. Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan primer yang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengadakannya hingga semua masyarakat berhak menikmati pangan.
Syariat Islam menjamin keadilan pasar dengan menindak pelaku kecurangan timbangan dan pelaku penimbunan dengan hukuman yang setimpal. Untuk melindungi masyarakat di dalam negeri maka syariat Islam mengharuskan adanya bea masuk produk luar dan besarnya sama dengan bea masuk barang dalam negeri ketika masuk ke negara mereka.
Sayariat Islam juga mengharuskan pemerintah untuk membangun pabrik pabrik besar yang dibutuhkan masyarakat sebagai bentuk pelayanannya. Semisal yang dibutuhkan petani adalah pupuk, benih, pestisida, dan pabrik pengolahan pasca panen. Maka pemerintah harus memiliki pabrik-pabrik tersebut untuk melayani kebutuhan petani dalam negeri.
Ketika urusan masyarakat benar-benar berada di dalam kendali pemerintah maka pihak asing atau perusahaan tidak akan bisa mempermainkan harga atau menekan pemerintah agar memenuhi kepentingan pihak asing.
Dengan sistem Islam tersebut pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan kebijakan penentuan harga beli. Serahkan saja pada mekanisme pasar. Keterjaminan adanya barang ditambah dengan kemampuan beli yang tinggi di masyarakat akan tercipta kestabilan mekanisme pasar yang adil dan menyejahterakan.
Bukan seperti sekarang. Mekanisme pasar dijadikan sebagai alat penyengsara rakyat karena barang susah dicari dan praktik monopolistik sebagai penentu harga.
Sumber: suarapembaca.detik.com
Ekspor beras yang digembar-gemborkan belum terwujud. Departemen Perdagangan dan Perum Bulog sudah meneken perjanjian impor beras 1 juta ton dengan Vietnam hingga tahun 2012. Menurut Direktur Utama Perum Bulog, Mustofa Abu Bakar, impor ini dilakukan karena kepastian produksi di Indonesia tidak pasti akibat banjir dan kekeringan.
Di dalam negeri kondisi petani padi tambah miris. Ketika harga beras berangsur naik harga gabah di petani Pandeglang Banten malah turun. Harga Gabah Kering Panen hanya Rp 2,000/ kg. Jauh di bawah ketentuan Inpres Perberasan No 8/2009 yang menetapkan Harga Gabah Panen di tingkat petani Rp 2,400/ kg.
Mengapa harga beras dan gabah selalu tidak sinkron dan begitu mudah dipermainkan. Dalam permasalahan pangan khususnya beras ini yang selalu menjadi korban adalah petani dan konsumen.
Hal ini menunjukkan bahwa penentuan harga minimum pemerintah atau harga pembelian pemerintah menjadi tidak efektif ketika pola distribusi penyediaan dan perdagangan beras tidak terjaga secara adil. Yang dibutuhkan masyarakat adalah ketersediaan barang atau beras dalam jumlah cukup di pasar dan kemampuan daya beli yang tinggi.
Apalah artinya beras melimpah namun masyarakat tidak mampu membelinya. Atau sebaliknya masyarakat mampu membeli namun persediaan barang tidak mencukupi.
Ketersediaan barang dilakukan dengan cara menjamin bahwa beras tersebut benar-benar ada di daerah orang-orang yang membutuhkan dan menindak para pelaku penimbun beras atau pihak-pihak yang sengaja membuat barang menjadi langka. Ketika jumlah beras memang belum mencukupi maka pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengadakan hal tersebut meskipun dilakukan dengan impor.
Kemampuan daya beli masyarkat bisa tinggi jika tingkat perekonomian pendapatan per orang secara riil (bukan rata-rata pendapatan) juga tinggi. Keberhasilan pemerintah dalam pelayanan terhadap petani terutama kemudahan dan kemurahan dari sarana dan prasarana produksi ditambah dengan infrastruktur yang memadai akan menekan tingginya biaya produksi.
Jika petani bisa dengan biaya seminimal mungkin dan mampu menghasilkan produksi yang tinggi maka bisa dipastikan harga produk pangan pun akan semakin murah. Masyarakat konsumen pun bisa menikmati dengan harga yang bisa dijangkau oleh semua kalangan.
Sayangnya, sampai saat ini pun pemerintah belum bisa mewujudkannya. Terbukti pasokan benih petani selama ini masih dikuasai oleh perusahaan transnasional seperti Dupont, Syngenta, Bayer, dan Monsanto. Kesuksesan perusahaan transnasional menguasai input eksternal dari benih, pupuk, dan sarana produksi lain tak lepas dari kesepakatan Indonesia di World Trade Organization (WTO).
Kondisi ini berbeda dengan Amerika Serikat (AS) dan Cina yang masih mensubsidi dan berhati-hati dalam membuka pasar komoditas pertanian. Sebaliknya, Indonesia malah membuka lebar-lebar liberalisasi perdagangan komoditi pertanian. Termasuk perbenihan.
Solusi tuntas dari permasalahan ini adalah mengembalikan fungsi pemerintah sebagai pelayan masyarakat bukan hanya regulator. Sebagaimana Islam telah mengajarkan bahwa pemimpin layaknya penggembala yang akan dimintai pertanggunjawabannya atas yang digembalakan.
Menerapkan sistem ekonomi Islam adalah salah satu solusi yang akan memberikan keadilan di tengah masyarakat. Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan primer yang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengadakannya hingga semua masyarakat berhak menikmati pangan.
Syariat Islam menjamin keadilan pasar dengan menindak pelaku kecurangan timbangan dan pelaku penimbunan dengan hukuman yang setimpal. Untuk melindungi masyarakat di dalam negeri maka syariat Islam mengharuskan adanya bea masuk produk luar dan besarnya sama dengan bea masuk barang dalam negeri ketika masuk ke negara mereka.
Sayariat Islam juga mengharuskan pemerintah untuk membangun pabrik pabrik besar yang dibutuhkan masyarakat sebagai bentuk pelayanannya. Semisal yang dibutuhkan petani adalah pupuk, benih, pestisida, dan pabrik pengolahan pasca panen. Maka pemerintah harus memiliki pabrik-pabrik tersebut untuk melayani kebutuhan petani dalam negeri.
Ketika urusan masyarakat benar-benar berada di dalam kendali pemerintah maka pihak asing atau perusahaan tidak akan bisa mempermainkan harga atau menekan pemerintah agar memenuhi kepentingan pihak asing.
Dengan sistem Islam tersebut pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan kebijakan penentuan harga beli. Serahkan saja pada mekanisme pasar. Keterjaminan adanya barang ditambah dengan kemampuan beli yang tinggi di masyarakat akan tercipta kestabilan mekanisme pasar yang adil dan menyejahterakan.
Bukan seperti sekarang. Mekanisme pasar dijadikan sebagai alat penyengsara rakyat karena barang susah dicari dan praktik monopolistik sebagai penentu harga.
Sumber: suarapembaca.detik.com
Comments
Post a Comment
Allah always see what we do!