Bawang putih menjadi momok bagi pola konsumsi bangsa ini. Konsumsi yang tinggi namun tak bisa menyediakan nya dengan kemampuan produksi yang sama. Tentu saja, karena geografi untuk tanam bawang putih terbatas dan harus bersaing dengan tanaman sayur lainnya.
Untuk bawang putih, china memiliki absolut advantage karena faktor geografis nya. Secara sederhana, jika siapapun ingin bertanding dengan china dalam hal bawang putih, kemungkinan kalah.
Kalaupun negara lain butuh bawang putih lebih baik berpikir sederhana dengan berapa produksi mandiri yang bisa dihasilkan, sisanya dipenuhi oleh negara lain. Maka, jika mau logis, targetkan produksi sendiri, bantu petani bawang dengan menuju kemandirian terutama dengan teknologi sehingga cost production nya rendah. Perbaiki jalur logistik dan transportasi agar tetap murah sampai ke konsumen. Dijamin, produksi dalam negeri akan lebih murah dibanding luar karena faktor transportasi. Jika sudah demikin, permainan tarif menjadi dealing untuk bertukar produk unggulan agar bisa masuk ke setiap negara.
Masalah besarnya, ketika kita tidak mau membuat target kebutuhan konsumsi dan berapa untuk mampu produksi, jika memang belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan maka dibuat target impor. Angka impor ini lah yang bisa dijadikan standar agar setiap tahin tidak dimanfaatkan oleh middle man yang selalu mengambil untung dalam peluang impor.
Para perencana pasti sedang pusing karena semua tahu bahwa bawang putih ini kita tak kan mampu mengimbangi china, sehingga di dokumen perencanaan tidak dianggap prioritas nasional. Namun demikian, obsesi peningkatan produksi bawang putih akan menyerap anggaran cukup besar di kementerian. Solusinya bagaimana? Meskipun bawang putih belum dianggap prioritas nasional, tetapi karena selalu menjsdi isu strategis dan penyumbang inflasi maka perlu dipertimbangkan kebolehannya penggunaan anggaran cukup besar untuk membangun pertanian komoditas bawang putih ini.
Bogor, 1 Oktober 2019
Comments
Post a Comment
Allah always see what we do!