Akhirnya harapan dan doa terkabul. Kuingin merasakan bagaimana sebenarnya kehidupan di daerah yang konon bekas emperor/kekaisaran/kekhilafahan yang digdaya, Kekhilafahan Utsmaniyah. Salah satu sosok yang fenomenal yaitu Kholifah Muhammad Al Fatih yang mampu menaklukan Romawi. Di tanah air, sayup terdengar bahkan viral bagaimana kebangkitan Turki dibawah kepemimpinan Erdogan, banyak kawan yang mempromosikan kebangkitan turki. Dari informasi tersebut, harapanku melayang jauh, seperti apa indahnya kehidupan disana.
Kesempatan itu datang juga, meski harus dengan perjuangan dan rintangan,berhasil ke Turki. Ketidakpastian mendapatkan paspor membuat delay pemberangkatan. Di detik-detik terakhir, akhirnya dikabarkan paspor bisa keluar, dan bisa issued tiket penerbangan.
Sesampai di bandara Soetta, ternyata sistem online down, sehingga petugas melayani manual, terdelay hingga satu jam. Dan aku termasuk 5 urutan terakhir penumpang yang harus berlarian karena jadwal terbang tak dimundurkan. Penerbangan 12 jam Jakarta-Istambul, masih harus ditambah 1,5 jam ke Izmir. Petualangan bermula, sendirian karena yang lain sudah duluan.
Sesampainya di bandara internasional Istanbul, hanya ada 1/2 jam untuk meneruskan penerbangan ke area domestic. Berlarian mencari visa arrival seharga $35. Ditambah sakit perut, harus segera mencari toilet. Dan berlari kencang agar tak ditinggal penerbangan menuju Izmir.
Jam 8.30 waktu setempat, mendarat juga, dan SOS ke panitia penjemputan. Kurang beruntungnya, banyak petugas bandara Izmir yang tak fasih English, jadinya bahasa universal kita gunakan, bahasa isarat sambil tebar senyum. Pulsa segera habis karena kena roaming, beruntung masih bisa kontak si penjemput, akhirnya selamat juga ke tempat pelatihan food waste and loss.
Sepanjang jalan dari bandara ke pusat pelatihan pertaniannya, melewati perbukitan yang hanya bisa ditanamai jenis pohon Tin. Terbayang, baimana hidup mereka dulu pasti jadi pengembara dan pengembala. Pasnya lagi disana musim panas, jadi terlihat sekali bagaimana sangat gerah jika berjalan dibawah terik matahari, kemungkinan suhu diatas 35 derajat celsius.
Sekilas Kesanku hidup bersama mereka
Bagiku agak aneh karena terbiasa di Indonesia, di Izmir (kota tersekuler), masjid sulit ditemui dan sedikit jamaah. Semoga di kota lain tak seperti di Izmir. Panitia juga tidak menjadwalkan waktu sholat, hanya Isma-istirahat makan-, ketika ada kawan dari Qatar meminta untuk berhenti sebentar agar dicarikan tempat sholat, panitia merasa kesulitan dan menyarankan agar dilakukan sholat di hotel saja, terpaksa sholat jama' terus.
Ketika hari Jumat tiba, panitia pun tak menjadwalkan, kita malah dibawa plesiran, sehingga kita minta untuk dicarikan masjid diwaktu shoat ashar. Alhamdulillah, mereka mengantar ke masjid, dan hanya mengantar sedangkan mereka tak ikut sholat. Bagaimana bisa?
Saya coba buka diskusi dengan kawan dari Maroko tentang keanehan kawan turki (panitia) ini. Dan hasilnya sama, mereka menyatakan keheranan. Meskipun kawan Maroko ini bercerita jika di maroko pun sekuler, banyak orang tidak sholat, namun disana mudah untuk mencari masjid (tempat) sholat. Bahkan, jika pun kita malam harinya ngedugem (katanya), maka kita bisa mendapati orang-orang yang hedon itu, subuhnya pun masih dimasjid. Kujawab, yah ga jauh beda dengan di tanah air. Kebangkitan apa yang sedang terjadi di Turki?. Sholat saja ga terjaga apalagi yang lain?. Semakin penasarandan banyak pertanyaan berkecamuk di benak.
Inilah sekilas pintas dengan orang turki ketika di Izmir. Tentu saja ini hanya kesan sesaat, tak bisa dijadikan untuk generalisir. Di hari terakhir, berkesempatan ke Istanbul dan mampir di Topkapi Palace, tempat sang Kholifah dan keluarganya berdiam di jaman Utsmaniyah. Kesempatan luar biasa, dan mengharu biru ketika melihat bekas Kekhilafahan Utsmaniyah dimuseum tersebut.
Semoga bisa menuliskan di tulisan yang lain.
Kesempatan itu datang juga, meski harus dengan perjuangan dan rintangan,berhasil ke Turki. Ketidakpastian mendapatkan paspor membuat delay pemberangkatan. Di detik-detik terakhir, akhirnya dikabarkan paspor bisa keluar, dan bisa issued tiket penerbangan.
Sesampai di bandara Soetta, ternyata sistem online down, sehingga petugas melayani manual, terdelay hingga satu jam. Dan aku termasuk 5 urutan terakhir penumpang yang harus berlarian karena jadwal terbang tak dimundurkan. Penerbangan 12 jam Jakarta-Istambul, masih harus ditambah 1,5 jam ke Izmir. Petualangan bermula, sendirian karena yang lain sudah duluan.
Sesampainya di bandara internasional Istanbul, hanya ada 1/2 jam untuk meneruskan penerbangan ke area domestic. Berlarian mencari visa arrival seharga $35. Ditambah sakit perut, harus segera mencari toilet. Dan berlari kencang agar tak ditinggal penerbangan menuju Izmir.
Jam 8.30 waktu setempat, mendarat juga, dan SOS ke panitia penjemputan. Kurang beruntungnya, banyak petugas bandara Izmir yang tak fasih English, jadinya bahasa universal kita gunakan, bahasa isarat sambil tebar senyum. Pulsa segera habis karena kena roaming, beruntung masih bisa kontak si penjemput, akhirnya selamat juga ke tempat pelatihan food waste and loss.
Sepanjang jalan dari bandara ke pusat pelatihan pertaniannya, melewati perbukitan yang hanya bisa ditanamai jenis pohon Tin. Terbayang, baimana hidup mereka dulu pasti jadi pengembara dan pengembala. Pasnya lagi disana musim panas, jadi terlihat sekali bagaimana sangat gerah jika berjalan dibawah terik matahari, kemungkinan suhu diatas 35 derajat celsius.
Sekilas Kesanku hidup bersama mereka
Bagiku agak aneh karena terbiasa di Indonesia, di Izmir (kota tersekuler), masjid sulit ditemui dan sedikit jamaah. Semoga di kota lain tak seperti di Izmir. Panitia juga tidak menjadwalkan waktu sholat, hanya Isma-istirahat makan-, ketika ada kawan dari Qatar meminta untuk berhenti sebentar agar dicarikan tempat sholat, panitia merasa kesulitan dan menyarankan agar dilakukan sholat di hotel saja, terpaksa sholat jama' terus.
Ketika hari Jumat tiba, panitia pun tak menjadwalkan, kita malah dibawa plesiran, sehingga kita minta untuk dicarikan masjid diwaktu shoat ashar. Alhamdulillah, mereka mengantar ke masjid, dan hanya mengantar sedangkan mereka tak ikut sholat. Bagaimana bisa?
Saya coba buka diskusi dengan kawan dari Maroko tentang keanehan kawan turki (panitia) ini. Dan hasilnya sama, mereka menyatakan keheranan. Meskipun kawan Maroko ini bercerita jika di maroko pun sekuler, banyak orang tidak sholat, namun disana mudah untuk mencari masjid (tempat) sholat. Bahkan, jika pun kita malam harinya ngedugem (katanya), maka kita bisa mendapati orang-orang yang hedon itu, subuhnya pun masih dimasjid. Kujawab, yah ga jauh beda dengan di tanah air. Kebangkitan apa yang sedang terjadi di Turki?. Sholat saja ga terjaga apalagi yang lain?. Semakin penasarandan banyak pertanyaan berkecamuk di benak.
Inilah sekilas pintas dengan orang turki ketika di Izmir. Tentu saja ini hanya kesan sesaat, tak bisa dijadikan untuk generalisir. Di hari terakhir, berkesempatan ke Istanbul dan mampir di Topkapi Palace, tempat sang Kholifah dan keluarganya berdiam di jaman Utsmaniyah. Kesempatan luar biasa, dan mengharu biru ketika melihat bekas Kekhilafahan Utsmaniyah dimuseum tersebut.
Semoga bisa menuliskan di tulisan yang lain.
Comments
Post a Comment
Allah always see what we do!