Jakarta - Drama kasus hukum yang menerpa petinggi KPK merembet terkuaknya drama korupsi di berbagai instansi dan menggeret para penegak hukum mulai Kepolisian, Kejaksaan, hingga Lembaga Pelindung Saksi. Miris! Mungkin itulah kata tertepat untuk menggambarkan penegakan hukum di Indonesia saat ini.
Percakapan Anggodo (adik tersangka kasus korupsi Anggoro) yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi telah memulai sebuah cerita tentang perekayasa kriminalisasi petinggi KPK. Dan, kemudian disusul tentang penjelasan Kapolri di depan Komisi III DPR.
Kita sebagai rakyat semakin tahu bahwa birokrat yang ada di negeri ini bermasalah. Dan, yang membuat kita malu adalah para pelaku yang mempermainkan hukum tersebut adalah dari kalangan oknum penegak hukum itu sendiri.
Seorang Anggodo, rakyat biasa, yang hanya mempunyai kekuasaan dari hartanya dari percakapannya dengan beberapa pihak yang diputar di MK mampu menyetir atau "membeli" kasus-kasus korupsi? Edan! Kata yang banyak disebut rakyat seperti kita melihat ulah polah pejabat.
Meskipun Anggodo sudah habis miliaran rupiah bukannya kasus itu selesai malah semakin besar. Kasus ini hanyalah bagian kecil dari permasalahan korupsi yang terjadi di negeri ini.
Jika kasus ini diteruskan hingga penyelesaian pengadilan maka bisa dipastikan akan merembet ke mana-mana. Kapolri dan anggota Komisi III DPR pun juga sudah berani menyebutkan kasus baru korupsi yang melibatkan mantan pejabat Menteri Kabinet Indonesia Bersatu I.
Kita semakin tidak bisa membantah apa yang pernah disebutkan oleh The Strait Time yang menyebut Indonesia sebagai envelope country. Karena, segala urusan di negeri ini bisa selesai jika ada "amplop".
Masalah korupsi ini akan terus terjadi jika tidak diselesaikan hingga ke akarnya yaitu sistem kapitalis liberal yang tengah mengkungkung Indonesia melahirkan koruptor-koruptor baru meskipun telah bayak koruptor lama yang dipenjarakan.
Negara ini mesti menerapkan solusi kongkrit untuk menyelesaikan kasus korupsi. Beberapa pakar hukum dan politik telah menawarkan reformasi hukum. Bahkan, revolusi sistem birokrasi agar terhindar dari korupsi. Di antara solusi tersebut adalah:
Pertama, sistem penggajian yang layak bagi aparat pemerintah. Pemerintah haruslah mencukupi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, kendaraan, ditambah dengan kebutuhan sekunder. Sehingga, aparat pemerintah bisa konsentrasi kepada pelayanan publik tanpa harus mencari tambahan akibat kebutuhannya tidak bisa terpenuhi dari gaji.
Kedua, memberikan punishment yang menjerakan bagi pelaku suap menyuap. Pemerintah juga melarang menerima hadiah bagi aparatnya. Pemberian hadiah kepada pejabat atau aparat pemerintah menjadikan aparat tidak fair lagi dalam melayani kepentingan rakyat.
Ketiga, perhitungan kekayaan bagi para aparat pemerintah. Penambahan kekayaan yang sangat cepat ketika menjadi pejabat akan segera diketahui jika kekayaan awal terdaftar, dan ketika diketahui tentang percepatan kekayaan tersebut, pejabat yang terkait harus bisa membuktikan terbalik tentang sumber harta tersebut.
Keempat, keteladanan dari pemimpin dalam perilaku hukum dan politik. Hancurnya sebuah bangsa ketika hukum hanya diberlakukan kepada rakyat kecil. Oleh karena itu pimpinan di negeri ini harus menjadi teladan untuk bersih dari korupsi.
Kelima, pengawasan yang ketat dan hukuman yang setimpal. Dalam masalah korupsi ini bukan hanya instansi pemerintah saja yang harus mengawasi. Tetapi, kontrol masyarakat melalui lembaga-lembaga yang ada seperti Partai Politik harus mengfungsikan sebagai pengawas. Bukannya malah ikut terlibat menikmati korupsi yang ada.
Jika diketahui bahwa telah terjadi korupsi maka pelakunya harus dihukum setimpal dengan penyitaan hartanya, pemenjaraan (bahkan hukuman mati), dan pengumuman ke khalayak ramai bahwa dia telah melakukan korupsi. Jika pelaku kejahatan korupsi takut akan hukuman tersebut maka pelaku akan menghilangkan niatnya untuk korupsi.
Solusi-solusi tersebut bisa diterapkan jika sistemnya juga bersih. Permasalahan korupsi di negeri ini bukan lagi masalah personal tetapi sudah sistemik. Sistem kapitalis yang menjadi kiblat negeri telah terbukti gagal. Dan, beralih kepada selain kapitalis adalah solusi alternatifnya.
Tri Wahyu Cahyono
Jl Gotong Royong Ragunan
Jakarta Selatan
Percakapan Anggodo (adik tersangka kasus korupsi Anggoro) yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi telah memulai sebuah cerita tentang perekayasa kriminalisasi petinggi KPK. Dan, kemudian disusul tentang penjelasan Kapolri di depan Komisi III DPR.
Kita sebagai rakyat semakin tahu bahwa birokrat yang ada di negeri ini bermasalah. Dan, yang membuat kita malu adalah para pelaku yang mempermainkan hukum tersebut adalah dari kalangan oknum penegak hukum itu sendiri.
Seorang Anggodo, rakyat biasa, yang hanya mempunyai kekuasaan dari hartanya dari percakapannya dengan beberapa pihak yang diputar di MK mampu menyetir atau "membeli" kasus-kasus korupsi? Edan! Kata yang banyak disebut rakyat seperti kita melihat ulah polah pejabat.
Meskipun Anggodo sudah habis miliaran rupiah bukannya kasus itu selesai malah semakin besar. Kasus ini hanyalah bagian kecil dari permasalahan korupsi yang terjadi di negeri ini.
Jika kasus ini diteruskan hingga penyelesaian pengadilan maka bisa dipastikan akan merembet ke mana-mana. Kapolri dan anggota Komisi III DPR pun juga sudah berani menyebutkan kasus baru korupsi yang melibatkan mantan pejabat Menteri Kabinet Indonesia Bersatu I.
Kita semakin tidak bisa membantah apa yang pernah disebutkan oleh The Strait Time yang menyebut Indonesia sebagai envelope country. Karena, segala urusan di negeri ini bisa selesai jika ada "amplop".
Masalah korupsi ini akan terus terjadi jika tidak diselesaikan hingga ke akarnya yaitu sistem kapitalis liberal yang tengah mengkungkung Indonesia melahirkan koruptor-koruptor baru meskipun telah bayak koruptor lama yang dipenjarakan.
Negara ini mesti menerapkan solusi kongkrit untuk menyelesaikan kasus korupsi. Beberapa pakar hukum dan politik telah menawarkan reformasi hukum. Bahkan, revolusi sistem birokrasi agar terhindar dari korupsi. Di antara solusi tersebut adalah:
Pertama, sistem penggajian yang layak bagi aparat pemerintah. Pemerintah haruslah mencukupi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, kendaraan, ditambah dengan kebutuhan sekunder. Sehingga, aparat pemerintah bisa konsentrasi kepada pelayanan publik tanpa harus mencari tambahan akibat kebutuhannya tidak bisa terpenuhi dari gaji.
Kedua, memberikan punishment yang menjerakan bagi pelaku suap menyuap. Pemerintah juga melarang menerima hadiah bagi aparatnya. Pemberian hadiah kepada pejabat atau aparat pemerintah menjadikan aparat tidak fair lagi dalam melayani kepentingan rakyat.
Ketiga, perhitungan kekayaan bagi para aparat pemerintah. Penambahan kekayaan yang sangat cepat ketika menjadi pejabat akan segera diketahui jika kekayaan awal terdaftar, dan ketika diketahui tentang percepatan kekayaan tersebut, pejabat yang terkait harus bisa membuktikan terbalik tentang sumber harta tersebut.
Keempat, keteladanan dari pemimpin dalam perilaku hukum dan politik. Hancurnya sebuah bangsa ketika hukum hanya diberlakukan kepada rakyat kecil. Oleh karena itu pimpinan di negeri ini harus menjadi teladan untuk bersih dari korupsi.
Kelima, pengawasan yang ketat dan hukuman yang setimpal. Dalam masalah korupsi ini bukan hanya instansi pemerintah saja yang harus mengawasi. Tetapi, kontrol masyarakat melalui lembaga-lembaga yang ada seperti Partai Politik harus mengfungsikan sebagai pengawas. Bukannya malah ikut terlibat menikmati korupsi yang ada.
Jika diketahui bahwa telah terjadi korupsi maka pelakunya harus dihukum setimpal dengan penyitaan hartanya, pemenjaraan (bahkan hukuman mati), dan pengumuman ke khalayak ramai bahwa dia telah melakukan korupsi. Jika pelaku kejahatan korupsi takut akan hukuman tersebut maka pelaku akan menghilangkan niatnya untuk korupsi.
Solusi-solusi tersebut bisa diterapkan jika sistemnya juga bersih. Permasalahan korupsi di negeri ini bukan lagi masalah personal tetapi sudah sistemik. Sistem kapitalis yang menjadi kiblat negeri telah terbukti gagal. Dan, beralih kepada selain kapitalis adalah solusi alternatifnya.
Tri Wahyu Cahyono
Jl Gotong Royong Ragunan
Jakarta Selatan
Comments
Post a Comment
Allah always see what we do!